uploads/article/2024/02/superiority-complex-masih-jadi-47349e8780f8c42.png

Superiority Complex Masih Jadi Alasan Utama Bullying Terjadi

Bullying bisa dibilang menjadi salah satu tindakan yang paling dibenci oleh masyarakat. Selain karena dampak buruknya terhadap korban, pelaku bullying pun punya kecenderungan untuk memiliki sifat yang memang nggak disukai oleh masyarakat. Namun, meskipun nggak disukai oleh masyarakat, pada kenyataannya bullying malah terus menerus terjadi di berbagai lingkungan.

Umumnya, bullying sering kali dijumpai di sekolah. Namun, di beberapa kasus bullying pun bisa terjadi di lingkup yang lebih privat seperti keluarga. Terlepas di mana bullying terjadi, satu kesamaan yang selalu terjadi adalah pelaku bullying selalu merasa superior dibandingkan dengan korbannya. 

BACA JUGA: Bukan Film Horor Berikut Sinopsis dari ‘Monster’ Film Garapan Hirokazu Kore-eda yang Sukses Menangkan Cannes Film Festival 2023

Apa Itu Perilaku Superior?

Mengutip dari website Siloam Hospitals, perilaku superior atau superiority complex adalah bentuk mekanisme pertahanan seseorang yang berusaha untuk menyembunyikan rasa rendah dirinya. Tentunya, Sobat Gen bertanya-tanya, apa hubungannya antara mekanisme perlindungan diri dengan bullying?

Superiority complex pada dasarnya merupakan perilaku seseorang yang merasa dirinya lebih baik dari siapa pun. Namun, terbentuknya perilaku ini sebenarnya didasari oleh perasaan insecure (rendah diri) yang ingin mereka sembunyikan. 

Sederhananya, Sobat Gen tentunya selalu melihat pelaku bullying lebih dari satu orang bukan? Karena, apabila mereka sendirian, mereka nggak akan punya 'keberanian' untuk membully seseorang. Makanya, untuk meningkatkan 'kepercayaan dirinya' biasanya pelaku bullying akan berkumpul untuk meningkatkan kepercayaan diri mereka, dan barulah mereka akan menindas orang yang mereka rasa 'lebih lemah' dari mereka. 

BACA JUGA: Mengubah dan Mewarnai Rambut Jadi Ciri Depresi, Kok Bisa?

Ingin Menunjukkan 'Kekuasaan'

Mereka yang memiliki superiority complex cenderung haus akan validasi. Dan cara untuk mendapatkan validasi yang cepat adalah dengan membuat 'kekuasaan'. Tentunya, untuk mendapatkan validasi melalui kekuasaan tersebut, para pelaku bullying akan mencari sosok yang mereka rasa lemah. Karena, nggak mungkin rasanya jika mereka membully seorang guru atau kepala sekolah yang notabenenya memilih hierarki di atas mereka. Sehingga, satu-satunya sosok yang dapat dijadikan 'objek' untuk mencari validasi adalah murid atau siswa lain. 

Dengan demikian, ketika pembully sukses membully korbannya, mereka cenderung akan mendapatkan 'sekutu' dalam hal ini rekan bully lainnya. Sederhananya, sekutu-sekutu ini biasanya adalah korban yang berkompromi dengan pembullynya agar merasa aman. Dari sini lah muncul relasi kuasa antara pembully dengan korban. Korban yang takut akan dibully kembali cenderung akan meminta 'ampun' dengan bersekutu dengan pihak penguasa (pembully) untuk mendapatkan rasa aman. Dan tentunya, dengan relasi kuasa ini lah akhirnya membuat superiority complex seorang pembully semakin besar. 

BACA JUGA: Kok Bisa Jaksel Dianggap sebagai Tempat Nongkrongnya Anak Gaul Jakarta?

Stop Anggap Orang Lain Lemah

Pada akhirnya, mau sekeras apa pun pelajaran dari orang tua, guru, teman, sahabat, dan lainnya. Selagi seseorang masih memiliki sifat superiority complex, kecenderungan untuk menjadi pembully akan terus ada. Sehingga, satu-satunya jalan untuk mengurai kasus bullying di Indonesia adalah menanamkan pemahaman bahwa pada dasarnya setiap manusia itu sama, dan nggak boleh diperlakukan berbeda.

Menganggap seseorang sebagai sosok yang inferior adalah cikal bakal perilaku superior. Sehingga, cara terbaik untuk merasa aman adalah dengan menerima keadaan diri sendiri, dan berusaha untuk menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri, bukan malah menjatuhkan dan membully orang lain. (*/)

(RRY)

banner