Banyak cara untuk menjadi musisi, mulai dari mengikuti kompetisi musik, mengirim demo ke produser/label musik, memproduksi musik sendiri sampai ke menjadi musisi cover melalui berbagai platform, seperti YouTube, Instagram, maupun TikTok.
Keberadaan musisi cover di Indonesia pun jumlahnya pun terbilang banyak. Sejumlah nama yang kini menjadi musisi profesional pun mengawali karir musiknya dengan menjadi musisi cover terlebih dahulu. Nama-nama seperti, Fathia Izzati, Brisia Jodie, Rendy Pandugo, GAC, dan lain sebagainya nyatanya menjadi musisi cover terlebih dahulu sebelum menjadi musisi nasional yang merilis lagu mereka sendiri.
Akan tetapi, kini keberadaan musisi cover lumayan dikritik oleh sejumlah musisi profesional. Masalah perizinan dan royalti pada dasarnya menjadi titik berat kritik musisi nasional terhadap para musisi cover. Karena, nggak jarang para musisi cover ini mengkomersialkan covernya melalui Adsense YouTube, tanpa meminta izin ke musisi aslinya.
BACA JUGA: Dianggap Norak, Tapi Kenapa Musik Jedag-Jedug Tetapi Populer di Indonesia?
Masalah Royalti dan Perizinan Musik Cover di Indonesia
Sebenarnya, di Indonesia sendiri sudah ada hukum yang mengatur mengenai royalti dan perizinan penggunaan kekayaan intelektual. Namun, pada kenyataannya nggak jarang para musisi cover ini melakukan cover tanpa izin ke musisi pemilik lagu tersebut.
Bicara dari segi hukum dan undang-undang yang berlaku, dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014, Hak Cipta merupakan hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Hak cipta sendiri merupakan hak eksklusif yang bukan hanya meliputi hak ekonomi saja, melainkan hak moral yang melekat secara abadi pada diri penciptanya. Dalam beberapa kasus, musisi cover sering kali melakukan pelanggaran hak cipta karena tidak memberikan hak ekonomi maupun hak moral terhadap pencipta dari musik tersebut.
Akan tetapi, musisi cover tidak serta merta dapat dijatuhi sanksi hukum atas dasar pelanggaran hak cipta. Karena, berdasarkan Pasal 43 Huruf D UU Hak Cipta dikatakan bahwa, perbuatan dan penyebarluasan konten hak cipta melalui media teknologi informasi dan komunikasi yang bersifat tidak komersial dan menguntungkan pencipta atau pihak terkait, atau pencipta tersebut menyatakan tidak keberatan atas perbuatan dan penyebarluasan maka dengan demikian tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta.
BACA JUGA: Seberapa Penting Privasi dalam Pembuatan Konten
Izin Menjadi Kunci
Dari penjelasan terkait hukum yang berlaku, Sobat Gen harusnya bisa memahami koridor pelanggaran hak cipta yang dapat dilakukan oleh musisi cover. Sebenarnya, asal musisi cover tersebut sudah mendapatkan izin dari pemilik lisensi dari musik yang dicover, maupun sudah membayar sejumlah royalti terhadap pemilik lisensi musik yang dicover, musisi cover tersebut jelas tidak melanggar hak cipta dari musik yang dia cover.
Hal yang sama pun berlaku apabila musisi cover tersebut tidak melakukan komersialisasi terhadap musik yang dia cover. Makanya, kalau Sobat Gen mengcover lagu untuk dokumen pribadi, tentunya Sobat Gen bebas dari pelanggaran hak cipta, karena Sobat Gen tidak mengkomersilkan musik tersebut. Namun, apabila Sobat Gen unggah ke berbagai platform, tentunya hal ini akan menjadi sangat pelik. Karena, Sobat Gen harus membuktikan bahwa apa yang Sobat Gen tidak melakukan komersialisasi dalam bentuk apapun terhadap lagu yang Sobat Gen cover.
Pada akhirnya, yang terpenting apabila Sobat Gen ingin melakukan cover terhadap sebuah lagu yang kemudian Sobat Gen unggah di platform media sosial adalah izin dari pemilik lagu tersebut. Selama pemilik lagu tersebut berkenan, Sobat Gen tentunya aman dari jerat hukum yang berlaku. Karena, sebagai sesama pecinta musik, baik musisi cover maupun musisi profesional seharusnya bisa memahami seberapa sulit memproduksi sebuah lagu bukan? (*/)
(RRY)