uploads/article/2023/08/catcalling-ketika-pelecehan-seksual-572281b6ef0e81d.png

Catcalling: Ketika Pelecehan Seksual justru Dianggap sebagai Hal Normal

Salah satu kebiasaan buruk yang ada di Indonesia terlebih ketika kita berada di jalan adalah catcalling. Nyatanya, kebiasaan ini sudah menjadi ‘budaya’ yang dinormalisasikan di Indonesia. 

Seringkali, perempuan-perempuan di Indonesia tidak merasa aman ketika mereka sedang bepergian sendiri. Karena, keberadaan para laki-laki yang seringkali melakukan catcalling terhadap perempuan-perempuan. 

BACA JUGA: Bukannya menjadi Tempat Aman, Sekolah Justru menjadi Tempat Bullying Berkembang

Catcalling pada dasarnya tidak hanya terjadi terhadap perempuan saja, laki-laki pun dapat menjadi korban dari catcalling. Namun, pada kenyataannya kasus catcalling seringkali menimpa para perempuan. Dan anehnya, di Indonesia catcalling masih seringkali dianggap sebagai bentuk ‘pujian’ karena dianggap narasi atau kalimat yang dilontarkan merupakan kalimat pujian seperti ‘cantik’, ‘manis’, dan lain sebagainya. 

Catcalling sebagai Bentuk Pelecehan Seksual

Pada dasarnya, catcalling merupakan bentuk pelecehan seksual. Kenapa?

Catcalling dikatakan sebagai pelecehan seksual karena membuat korban merasa malu, hina, merasa derajatnya terlihat rendah sebagai seorang manusia. Sederhananya, catcalling merupakan bentuk adanya intimidasi dan dominasi yang berasal dari adanya ketidaksetaraan gender. 

Dalam kasus catcalling, seringkali perempuan menjadi korban. Laki-laki yang seringkali menganggap dirinya sebagai gender yang lebih superior pada akhirnya mencoba memperlihatkan dominasinya dalam bentuk intimidasi berupa catcalling terhadap perempuan. 

Pada akhirnya catcalling merupakan bentuk pelecehan seksual. Meskipun pada awalnya belum ada hukum yang benar-benar mengatur permasalahan catcalling di Indonesia. Setelah disahkannya UU TPKS, catcalling masuk sebagai bentuk pelecehan verbal. Lebih rincinya, dalam Pasal 281 ayat (2), Pasal 289 Kita Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 8 Jo Pasal 34, Pasal 9 Jo Pasal 35 Undang-Undang No.44/2008 tentang Pornografi, dan Pasal 5 Undang-Undang No.12/2022 digunakan sebagai penyelesaian kasus pelecehan seksual yang dilakukan secara verbal.

BACA JUGA: Mengapa Lagu dengan Tema Kesehatan Mental menjadi Populer?

Catcalling Bukan Candaan

Salah satu alibi yang digunakan oleh para pelaku catcalling adalah apa yang dilakukannya hanyalah bercanda dan juga pujian. 

Pada kenyataannya, catcalling bukanlah bentuk candaan maupun pujian. Dari sekian banyaknya opsi untuk bercanda maupun memuji seseorang, catcalling tidak akan pernah menjadi opsi untuk melontarkan candaan ataupun pujian. 

Menormalisasi catcalling sebagai bentuk candaan sama dengan membiarkan terjadinya pelecehan seksual. Sehingga, ketika ada orang yang melakukan catcalling pada dasarnya kita dapat melaporkan orang tersebut ke pihak yang berwenang.

Lagipula, masih banyak cara untuk melemparkan pujian dibandingkan dengan bersiul ataupun memanggil orang dengan sebutan-sebutan seperti ‘cantik, ‘manis’, dan lain sebagainya. Jika memang kita benar-benar tertarik dengan orang tersebut, dekatilah dengan cara yang sopan dan elegan. 

(RRY)

 

banner