Minggu ini, Indonesia dihebohkan oleh kasus penikaman yang dilakukan siswa SMA di Banjarmasin kepada temannya. Setelah ditanyai motif pelaku menikam korban, pelaku mengaku menjadi korban bullying dari korban.
Sebelum kasus penikaman ini terjadi, nyatanya terdapat kasus lain yang dilakukan korban bullying. Sebelumnya, siswa SMP Temanggung membakar ruang kelas dan sekolahnya lantaran menjadi korban bullying dari teman dan bahkan gurunya.
Dari adanya dua kasus ini, timbul satu pertanyaan. Mengapa sekolah seringkali menjadi tempat terjadinya kasus bullying?
BACA JUGA: 3 Band Pop Melayu yang Masih Aktif di Indonesia
Padahal, sekolah seharusnya menjadi tempat atau lembaga teraman untuk seorang siswa/pelajar untuk mengembangkan potensi dirinya baik dari segi akademis maupun non-akademis. Namun, mengapa akhirnya sekolah justru menjadi tempat lahirnya para pembully?
Pada kenyataannya, efek dalam bentuk verbal bullying tidap dapat dilihat secara kasat mata. Banyak siswa yang akhirnya terlihat baik-baik saja guna menutupi rasa sakit yang sebenarnya diderita akibat bullying. Mereka takut, apabila menunjukkan apa yang dia rasakan, dirinya akan makin dibully.
Selain rasa takut, nyatanya beberapa korban bullying pun diancam oleh para pelaku bullying untuk tidak memberi tahu guru, ataupun orang tua akan aksi mereka. Ancama tersebut bisa berbentuk ancaman secara verbal, ataupun ancaman yang bahkan mengarah kekerasan.
- Anggapan Bullying sebagai Candaan
Nyatanya beberapa sekolah menganggap beberapa ejekan, kontak fisik, dan lain sebagainya hanya sebagai bentuk becandaan atapun keakraban antar pelajar. Padahal, pada kenyataannya tidak semua ejekan, ataupun kontak fisik dapat dikatakan sebagai becandaan.
BACA JUGA: 3 Perubahan Nama Fitur di Twitter
Ejekan-ejekan yang sudah merendahkan, sudah membuat sakit hati, atapun kontak fisik yang sudah berlebihan pada dasarnya sudah menjadi indikasi adanya tindak bullying kepada seorang pelajar. Namun, karena sudah menganggap hal tersebut sebagai sebuah ‘becandaan’, sekolah secara tidak langsung sudah menormalisasi tindak bullying di lingkungan mereka.
Salah satu faktor terjadinya bullying adalah adanya perbedaan status antara pebully dan korban. Nyatanya, beberapa korban bully seringkali berasal dari kelompok yang dianggap di bawah dari si pelaku bully. Sehingga, dengan adanya hal ini, kelompok yang merasa lebih dominan akan mengabuse power yang mereka miliki karena menganggap korban tidak memiliki power yang sama dengan mereka.
Selain perbedaan status, perbedaan fisik seringkali menjadi alasan terjadinya tindak bullying di sekolah. Banyak siswa yang bertubuh lebih besar merasa memiliki kekuatan yang lebih kuat dibandingkan siswa yang bertubuh lebih kecil. Sehingga, mereka berani untuk menindas korban dengan asumsi korban tidak akan berani membalas mereka karena ukuran fisik yang kalah dengan mereka.
Salah satu faktor yang menjadi ironi adalah banya kguru atau pihak sekolah yang terkesan membiarkan tindak bullying terjadi. Kembali ke poin mengenai bias, nyatanya guru atau pihak sekolah seringkali menganggap bullying hanya sebagai kenakalan atau becandaan antar siswa. Padahal, pada kenyataannya tidak seperti itu.
Kemudian, banyak guru yang akhirnya membiarkan bullying terjadi karena kurangnya ikatan antara guru dan siswa. Padahal, terdapat istilah bahwa guru adalah orang tua siswa di sekolah.
Pada akhirnya dengan adanya faktor-faktor yang telah dijelaskan, tindak bullying sangat rentan terjadi di sekolah. Dan kunci dari hilangnya bullying di lingkungan sekolah sebenarnya ada pada pihak sekolah seperti guru, ataupun bimbingan konseling (BK) untuk menjalankan fungsi mereka sebagai pengawas interkasi para siswa. Sudah seharunya guru memahami mana yang menjadi bencandaan dan mana yang merupkan tindakan bullying.
(RRY)