uploads/article/2023/08/remaja-indonesia-jadi-perokok--13556830bdda520.jpg

Remaja Indonesia jadi Perokok, Kok Bisa?

Rokok di Indonesia bisa dibilang sudah menjadi salah satu kebutuhan bagi para penggunannya. Bahkan beberapa orang lebih memilih untuk merokok dibandingkan untuk makan. 

Merokok memang nggak dilanggar oleh negara baik dari segi hukum maupun agama. Namun, pada kenyataannya banyak pelanggaran yang dilakukan dalam konteks merokok itu sendiri. Mulai dari merokok yang bukan di tempatnya, merokok ketika sedang berkendara, sampai ke merokok ketika belum mencapai batas usia yang ditetapkan.

Pada kenyataannya, jumlah perokok remaja di Indonesia berada di angka yang mengkhawatirkan. Berdasarkan data yang diambil dari organisasi non profit Tobacco Control Support Center, setidaknya terdapat 69% perokok aktif yang merupakan seorang remaja. 

Padahal, berdasarkan aturan di Indonesia, usia minimal seseorang boleh merokok adalah 18 tahun. Namun pada kenyataannya, kita dapat menyaksikan siswa SMP atau SMA merokok di warung-warung atau tempat tongkrongan mereka.

BACA JUGA: Bagaimana Musik Mampu Menggambarkan Perasaan Kita?

Bahkan, di beberapa kasus nyatanya anak-anak berusia 4-5 tahun pun di Indonesia sudah memiliki kebiasaan merokok atau dikenal dengan baby smoker. 

Pertanyaannya adalah, mengapa akhirnya remaja Indonesia sudah menjadi perokok aktif di usia mereka yang belum cukup umur untuk merokok? 

1. Dianggap Keren

Salah satu faktor yang menyebabkan jumlah perokok remaja di Indonesia memiliki angka yang tinggi adalah adanya anggapan bahwa merokok adalah sesuatu yang keren.

Hal ini dapat dilihat ketika di satu tongkrongan yang berisikan remaja SMP atau SMA seringkali ketika ada temannya yang tidak merokok, mereka seringkali dicibir sebagai sosok yang culun atau nggak keren.

Selain itu, narasi-narasi iklan rokok seringkali menunjukan sosok orang yang merokok sebagai sosok yang maskulin, keren, dan juga inspiratif. Padahal, jika melihat dari dampak rokok sendiri, rasanya image tersebut menggambarkan sosok maskulin yang ada di iklan-iklan rokok. 

Padahal, pada kenyataannya merokok bukanlah perilaku yang dapat dicap sebagai sesuatu yang keren. Bukan berarti apa yang dilakukan oleh orang dewasa yang kemudian dilakukan oleh remaja menjadi sesuatu yang keren. Anggapan keren inilah yang akhirnya membuat remaja-remaja Indonesia merokok sebelum usia yang diperbolehkan. 

2. Faktor Lingkungan

Salah satu faktor lain yang akhirnya membuat remaja Indonesia menjadi perokok aktif adalah lingkungan. Mereka yang hidup dan tumbuh besar di lingkungan perokok aktif cenderung akan menjadi perokok juga. 

Lingkungan disini bukan hanya keluarga saja, namun lingkungan lain seperti lingkungan pertemanan, pekerjaan, dan lain sebagainya nyatanya menjadi faktor kuat akhirnya remaja di Indonesia menjadi seorang perokok.

Mereka yang terbiasa melihat orang-orang disekitarnya merokok pada akhirnya akan memiliki rasa penasaran untuk mencoba untuk merokok. Terlebih, apabila dirinya tidak merokok namun lingkungannya merokok. Hal tersebut akan makin mentrigger dirinya untuk merokok guna menjadi bagian dari lingkungan tersebut.

3. Ketergantungan

Awalnya, remaja yang menjadi perokok tentunya hanya coba-coba. Namun, karena adanya zat adiksi dalam rokok, mereka pun menjadi ketergantungan. 

Nikotin yang ada di dalam rokok nyatanya mampu membuat remaja Indonesia merasa bergantung pada rokok. Mereka menganggap dengan merokok stress yang mereka alami akan berkurang. Padahal, pada kenyataannya zat nikotin pada rokok justru memberikan rasa cemas bagi para perokok itu sendiri.

BACA JUGA: Mengapa Gen Z Harus Melakukan Detox Media Sosial 

Memang pada awalnya mereka akan merasa rileks, namun rasa ketergantungan akibat nikotin inilah yang akhirnya memberikan rasa cemas berlebih pada perokok itu sendiri. 

Nikotin memiliki kemampuan untuk merangsang pelepasan zat kimia dopamin di dalam otak. Dopamin memiliki peran dalam memicu sensasi positif. Pada individu yang mengalami depresi, kadar dopamin dalam otaknya cenderung rendah. Sebagai akibatnya, orang tersebut mungkin menggunakan rokok sebagai cara untuk sementara meningkatkan pasokan dopamin. 

Namun, ironisnya, merokok justru mendorong otak untuk menghambat mekanisme produksi dopamin, mengakibatkan penurunan pasokan dopamin dalam jangka panjang. Dalam konsekuensinya, kondisi ini mendorong individu untuk merokok lebih banyak guna mencoba mengatasi penurunan pasokan dopamin tersebut.

Rokok pada dasarnya menjadi suatu hal yang lebih banyak memberikan efek negatif dibandingkan positif. Sehingga, rasanya rokok bukan menjadi solusi atau bukanlah sesuatu yang perlu dianggap keren oleh remaja Indonesia.

(RRY)

 

banner