uploads/article/2023/09/mengenal-cancel-culture-budaya-75120640595e61c.png

Mengenal Cancel Culture: Budaya Media Sosial yang Penuh Pro-Kontra

Media sosial selalu sukses menciptakan suatu fenomena baru. Jika biasanya sosok artis, seleb, atau sosok idola dipuja-puja, namun pada kenyataannya sosok-sosok idola tersebut dapat menjadi bulan-bulanan warga media sosial atas kelakuan yang dianggap mereka salah.

Cancel culture bisa dibilang menjadi istilah dan fenomena yang tepat untuk menggambarkan kondisi tersebut. Kondisi ketika sosok terkenal melakukan kesalahan yang tergolong tidak dapat dimaafkan, akan mendapatkan hujatan, dan bahkan ‘menghilangkan’ sosok tersebut dari kehidupan.

Apa Itu Cancel Culture

Agar lebih pasti, cancel culture menurut Koentjoro yang merupakan seorang psikolog dan juga dosen di Universitas Gadjah Mada mengartikan cancel culture sebagai budaya boikot terhadap sosok publik figur. Masyarakat yang merasa sosok publik figur tersebut sudah tidak sejalan lagi dengan mereka, akan melakukan boikot terhadap publik figur tersebut. Pemboikotan ini biasanya dilakukan di platform-platform media sosial seperti Twitter. 

BACA JUGA: Catcalling: Ketika Pelecehan Seksual justru Dianggap sebagai Hal Normal 

Cancel culture atau pemboikotan ini sebenarnya bukan muncul tanpa alasan. Seperti yang disebutkan sebelumnya, cancel culture terhadap sosok publik figur biasanya terbentuk karena ulah dari publik figur yang melakukan suatu kesalahan yang relatif tidak bisa dimaafkan. Hal ini dapat dilihat dari rentetan kasus cancel culture yang menimpa sosok publik figur yang melakukan pelecehan dan kekerasan seksual. 

Sehingga, sebagai bentuk konsekuensi dan sanksi sosial, masyarakat internet pun melakukan pemboikotan terhadap sosok publik figur tersebut yang tidak jarang berpengaruh terhadap kehidupan di dunia nyata si publik figur tersebut. Mulai dari pembatalan kontrak kerja sama, hilangnya fans, sampai hal-hal yang memang berdampak terhadap karir si publik figur tersebut. 

Cancel Culture sebagai Pedang Bermata Dua

Cancel culture pada dasarnya merupakan sebuah respon dari kelompok masyarakat terhadap sosok publik figur yang diduga melakukan kesalahan yang tidak dapat dimaafkan. Pada dasarnya, efek jera yang diberikan adalah sanksi sosial seperti cemooh, hinaan, dan lain sebagainya. Namun, tidak jarang juga cancel culture memiliki dampak yang signifikan terhadap karir sosok publik figur.

BACA JUGA: Mengapa Gen Z Harus Melakukan Detox Media Sosial 

Salah satu letak permasalahan dalam cancel culture adalah nyatanya beberapa publik figur yang menjadi korban dari cancel culture nyatanya tidak terbukti bersalah. Sebagai contoh adalah kasus Johnny Depp yang terjadi beberapa waktu yang lalu. Awalnya, Johnny Depp menjadi korban dari cancel culture karena diduga melakukan kekerasan terhadap mantan istrinya Amber Heard. Namun, setelah dilakukan penyelidikan dan masuk ke ranah pengadilan, justru Johnny Depp lah yang nyatanya merupakan korban dari kekerasan rumah tangga. Akan tetapi, karena sudah terlanjur dicancel, sejumlah kontrak kerja sama antara Johnny Depp dan berbagai brand pun terlanjur telah dibatalkan.

Cancel culture nyatanya dapat menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, sosok publik figur yang melakukan kesalahan mendapatkan ganjaran yang setimpal, namun di sisi lain, sosok publik figur yang nyatanya tidak melakukan kesalahan tersebut seringkali sulit mengembalikan reputasinya karena sudah terlanjur menjadi korban dari cancel culture. 

Pada akhirnya, cancel culture menjadi sebuah budaya bermedia sosial yang penuh dengan pro-kontra. Ada orang yang menganggap siapapun yang melakukan kesalahan, harus tetap dimaafkan dan tidak memiliki kaitan dengan karirnya, namun di sisi lain ada yang berpikir baik karir dan kehidupan personal adalah suatu hal yang beririsan.

(RRY)

 

banner