Generasi micin. Kayaknya, sebutan tersebut sudah lumayan melekat bagi anak-anak muda di Indonesia. Generasi micin sendiri merujuk ke anak muda Indonesia yang suka banget mengkonsumsi segala jenis makanan yang mengandung micin. Dari kebiasaan tersebut, akhirnya para anak muda ini dicap sebagai ‘generasi micin’.
Generasi micin sendiri punya konotasi yang lumayan negatif nih, Sobat Gen! Dengan adanya asumsi masyarakat Indonesia yang menganggap micin membuat bodoh, pada akhirnya beberapa anak muda Indonesia yang punya perilaku ‘ajaib’ sering kali dianggap berperilaku demikian karena terlalu banyak mengkonsumsi micin.
Salah Kaprah Micin
Asumsi micin membuat bodoh nyatanya adalah hal yang keliru, Sobat Gen. Pada dasarnya, micin atau MSG merupakan keluarga garam yang dihasilkan dari asam amino bernama asam glutamat. Tentunya, asam glutamat ini biasa dijumpai secara alami di berbagai makanan yang kita konsumsi, Sobat Gen.
BACA JUGA: Orang Indonesia nggak Sabaran? Emang Iya?
Lebih lanjut, mengutip dari HaiBunda.com, ahli gizi Mochammad Rizal, S.Gz menjelaskan jika MSG atau micin hanya merupakan penyedap rasa untuk membuat makanan terasa lebih gurih, dan memiliki cita rasa yang lebih lengkap.
"Asam glutamat bisa ditemukan secara alami di berbagai bahan makanan: daging, ikan, sayuran, dan susu, bahkan ASI. MSG dikenal sebagai 'umami' pengembang rasa, yang berarti rasa kaya, gurih, dan menyeluruh," sambungnya.
Jadi, micin nggak ada hubungannya dengan anak yang bodoh ya, Sobat Gen. Karena, pada dasarnya micin hanyalah penyedap rasa yang memang sudah digunakan sejak lama turun-menurun, dan lintas generasi.
Kok Bisa Micin Dianggap Bikin Bodoh?
Terus, kenapa tiba-tiba asumsi micin bikin bodoh terlahir?
Jadi, awal mengapa micin memiliki reputasi buruk dikarenakan adanya sindrom restoran China yang terjadi di Amerika Serikat. Berawal dari surat mengenai ‘sindrom restoran China’ yang terbit di New England Journal of Medicine tahun 1968, akhirnya membuat asumsi mengenai konsumsi micin membuat kita menjadi bodoh pun akhirnya terbentuk.
Robert Ho Man Kwok menjadi orang pertama yang mengemukakan sindrom ini. Dirinya merasa mati rasa di bagian belakang lehernya dan berbagai kelemahan umum setelah dirinya makan di restoran China di Amerika Serikat. Nah, dari sinilah akhirnya asumsi buruk terhadap micin terjadi. Robert merasa, penyebab dari mati rasa yang dialaminya adalah MSG yang ada di makanan yang dikonsumsinya.
Berawal dari kasus tersebut, akhirnya para peneliti pun melakukan penelitian lanjutan untuk memastikan apakah MSG dapat dikonsumsi atau tidak. Dari penelitian tersebut, muncul berbagai klaim yang mendiskreditkan micin sebagai penyedap rasa nih, Sobat Gen. Sehingga, micin pun dianggap menjadi bahan makanan yang ‘berbahaya’.
Meskipun riset telah dilakukan, klaim dan hasil riset pun nyatanya sering kali dianggap sebagai bentuk perilaku rasisme terhadap etnis Cihna. Karena, di tahun tersebut, MSG sebagai bahan makanan sedang menjadi populer di AS.
BACA JUGA: Remaja Indonesia jadi Perokok, Kok Bisa?
Lebih lanjut, riset lain dilakukan pada tahun 2020 dengan hasil yang berbeda dengan riset yang dilakukan pada tahun 1969. Hasilnya? Tentu lebih jauh positif dibandingkan riset sebelumnya.
Food and Drug Administration (FDA) pun mengungkapkan micin atau MSG dalam kategori ‘GRAS’ atau ‘Umumnya Diakui Aman’ selama bertahun-tahun. Sehingga, asumsi micin = bodoh tentunya adalah hal yang keliru.
Ditambah, penelitian sistematis yang dilakukan pada tahun 2016 dan dipublikasikan dalam Journal of Headache Pain tidak menemukan hubungan antara mengkonsumsi makanan yang tinggi MSG dan timbulnya sakit kepala. Meskipun ada beberapa klaim yang mengkhawatirkan, seperti potensi MSG menyebabkan kematian sel-sel otak, namun bukti ilmiah tidak mendukung klaim tersebut.
Jadi, pada akhirnya micin nggak ada hubungannya dengan bikin anak bodoh. Pintar, bodohnya seorang anak, tentunya kembali lagi ke gaya belajar anak tersebut. Sehingga, micin sebagai bahan makanan nggak punya hubungan sama sekali dengan kepintaran seseorang. (*/)
(RRY)