Ini adalah kisah tentang kucingku yang gagah, namanya Kapas. Kenapa namanya Kapas? Karena bulunya seputih kapas, dia adalah teman kami sekeluarga, kalau kami sedang makan malam, dia dengan sabar duduk menunggu tepat di depan meja hidangan, sekilas gayanya seperti penjaga warung! Lucu sekali!
Setelah kami selesai, dia akan kami panggil untuk memakan sisa tulang, kadang ibuku mencampur sisa ikan dengan nasi untuknya. Padahal kami juga memberinya makan whiskas, tapi dia sepertinya ingin juga ikut makan kalau melihat kita asyik makan malam, mungkin Kapas suka dengan kebersamaan dan menganggap dirinya bagian dari kami. Meskipun lucu, Kapas adalah kucing pemberani, dia siap menghalau kucing luar agar tak masuk ke rumah kami, dia juga suka mengejar musang yang mengendap di malam hari.
Suatu ketika, Kapas kami jodohkan, ceritanya, siang itu ibuku memanggil-manggil kucing putih yang disangkanya Kapas, ternyata itu bukan dia, melainkan kucing betina yang kebetulan warna bulunya serupa. Kucing itu kami adopsi dan kami beri nama Kipis. Kapas dan Kipis akhirnya kawin dan melahirkan beberapa anak yang juga putih-putih, mereka hidup bahagia di keluarga kami.
Hingga pada satu hari, kami menyadari tidak pernah melihat Kapas lagi, ku cari dan kupanggil-panggil tak juga kelihatan. Ah, apakah Kapas menemukan keluarga yang lebih baik di luar sana? Yang lebih penyayang? Yang kasih makan lebih enak? Entahlah. Lalu temanku memberitahu, kalau beberapa kucing, tidak suka menyusahkan tuannya kalau tahu dirinya bakal mati, mereka akan pergi untuk mencari tempat yang jauh untuk bisa mati sendirian tanpa harus menyusahkan tuannya. Hatiku merasa sedih, membayangkan Kapas yang lemah dan menua, terguyur hujan entah di mana, akankah dia diganggu hewan lain? Akankah ia disakiti orang? Apakah ia mengingat kami?
Dua tahun berlalu, hatiku sudah mampu mengikhlaskan Kapas, kami terhibur dengan keberadaan Kipis dan anak-anaknya, tapi sesungguhnya tiada yang bisa menggantikan Kapas, tidak ada dari anak-anaknya yang sesopan dia untuk tidak mencuri, sesabar dia dalam menunggu makanan, dan tidak ada yang segagah dia menjagai rumah. Lalu malam itu, saat lewat meja makan, kulihat ibuku yang sedang menulis anggaran bulanan, menatap lurus menuju pintu masuk yang menghubungkan ruang makan dan halaman belakang.
"Kang...", ujar ibuku. "Itu siapa?"
Aku lalu mengikuti arah pandangnya, dan menemukan seekor kucing tua dekil, dengan luka-luka di tubuhnya, bulunya berwarna putih.
"Itu si Kapas?", tanya ibuku lagi.
Sebelum ibuku sempat menghampiri kucing itu, aku cegah langkahnya.
"Tunggu mah.", ujarku. "Kasih jalan.".
Kami berdua minggir, lalu kucing dekil itu masuk ke rumah dengan langkah pelan dan nafas terengah, ia lewati semua kucing yang ada di dalam tanpa canggung atau takut sedikitpun, dan akhirnya sampai ke halaman samping ruang TV dan duduk di situ, seolah menunggu. Kucing dekil itu rupanya kenal betul dengan jalur menuju ke situ, saat itulah aku benar-benar yakin, kalau dia adalah kucing kami, Kapas! :')
Ibuku membukakan kaleng whiskas dan menaburkan ke tempat makan, sambil menghalau anak-anaknya supaya tak mengganggu, kami terus memperhatikan lahapnya Kapas makan, hati kami terasa haru. Setelah puas, baru ibuku berani mengelusnya, dan dia menerima belaian itu dengan nikmat. Kami bersihkan dia sambil menerka-nerka, apa sebabnya dulu dia pergi? Apa yang telah ia lalui? Dan mengapa ia kembali? Ibuku sebenarnya sudah pindah ke rumah lain, dan ia hanya pulang ke rumahku beberapa kali dalam sebulan untuk beristirahat, tapi karena Kapas, ia lebih sering tinggal di sini.
Ibuku senang bekerja di kamar, di mana Kapas dengan setia menemaninya sambil tiduran di atas ranjang. Di ranjang itu dulu kami sering bermain dengan kapas, termasuk adik-adikku; kita gangguin, kita ajak main gulat, kita pijat, kita kelitiki, kadang dia suka menggigit dan mencakar dengan sayang. Suatu malam, ibuku menemukan kapas buang air di ranjang itu, ibuku menjelaskan dengan sedih, kalau itu adalah tanda bahwa detik-detik terakhirnya akan segera tiba, dia memberi "hadiah" perpisahan di tempat favoritnya.
Sehari berselang, Kapas pun mengalami sakaratul maut, dia hanya bisa berbaring dengan nafas yang makin berat. Pada malam hari, ibuku melapisi lantai dengan kain, dan mencoretkan kapur barus di sekelilingnya agar tiada semut mendekat. Pada pagi hari, Kapas kami temukan telah berpulang, kami menguburkan Kapas di halaman depan rumah, kutaburkan whiskas dan kusertakan sepucuk surat ungkapan sayangku yang terakhir.
Kapas, entah mengapa kamu dulu sempat pergi, tapi yang pasti, aku bersyukur, kau telah memilih rumah ini, rumah kita, sebagai tempatmu menghembuskan nafasmu yang terakhir. Salamku kepada Kapas, temanku yang super keren.